Jumat, 04 Maret 2016

Pulau Weh - Cerita dari ujung barat Nusantara


Terik sang Mentari siang itu seakan membakar kulit, ketika langkah kakiku menelusuri trotoar jalan itu sembari menenteng 2 ransel segede gabang. Beberapa kali saya berpapasan dengan para pejalan kaki lainnya, dan terlihat senyum merekah menghiasi wajah mereka.
“ mau ke Sabang” ? Tanya seorang Bapak pemilik warung kecil, ketika aku sempatkan beli rokok diwarungnya.

“iya Pak”, jawabku singkat.

Saya memulai perjalanan dari Jakarta menggunakan armada udara dengan tujuan Bandar Udara di Kota Banda Aceh. Selanjutnya dari Bandara, menumpang kendaraan umum tujuan Pelabuhan Laut Ulee Lheue. sebenarnya kendaraan yang saya tumpangi siap mengantar sampai kedalam area pelabuhan, tapi saya lebih memilih minta diturunkan di depan pintu masuk Pelabuhan, sembari melihat keindahan alam di Negri Serambi Mekah. Sedikit gambaran, pantai ini merupakan salah satu saksi bisu dari ganasnya terjangan gelombang tsunami beberapa tahun silam. Sejenak saya mampir disini, berdiri disalah satu bibir pantainya yang sudah disulap menjadi pantai berbatu besar yang menghiasi hampir diseluruh penjurunya. Disini saya tidak melihat satupun perahu nelayan di lautan, dan ternyata setelahnya saya baru tau bahwa hari itu adalah hari Jum’at, para nelayan tidak diperbolehkan melaut dihari tersebut, itu merupakan aturan dari Adat masyarakat di daerah tersebut. Hmmm salut deh dengan masyarakat Aceh.

Tak lama setelahnya saya segera masuk ke komplek Pelabuhan dan langsung menuju ke loket penjualan tiket Kapal laut. Ada 2 pilihan penyeberangan dari Aceh menuju Sabang. Kapal Feri dengan lama perjalanan 4 jam atau dengan kapal cepat dengan 2 jam perjalanan dengan harga yang bervariasi. Dan saya memilih menggunakan Kapal Feri, selain lebih murah saya bisa menikmati panorama alam selama perjalanan lebih leluasa. Oiyah, harga tiket kapal feri dari Pelabuhan Ulee Lheue menuju Pelabuhan Balohan di Pulau Weh berkisar Rp.25.000. Disini saya berkenalan dengan 4 orang sahabat backpacker dari Kota Binjai, Sumatra Utara dan mereka juga akan ke Pulau Weh. obrolan kami terus mengalir ketika kami sudah berada di Kapal Feri, awalnya mereka mengajak saya berpetualang bersama, tapi saya menolaknya, saya lebih memilih berpetualang sendiri karena menurut saya lebih terasa sensasi perjalanannya.



suasana diatas kapal feri menuju ke Pulau Weh

Penumpang di kapal ini cukup banyak, karena hari itu bertepatan dengan liburan akhir pekan. Namun disinilah menurut saya saat dimana kita berbaur dan menyatu dengan masyarakat lokal. Mendengar mereka bercerita dengan menggunakan bahasa daerahnya yang saya tidak mengerti hehehe, dan dengan budaya yang mereka miliki. Saat dimana jiwa petualangan kita kembali terasah, saat dimana kita merasa bahwa Negri ini kaya akan budaya, saat dimana jiwa kita seperti berada ditengah-tengah keluarga besar yang telah lama kita tinggalkan. Beberapa kali saya ditawari makanan kecil dari penumpang kapal lainnya, bahkan ada yang menawarkan saya untuk menginap dirumahnya kalau seandainya saya kemalaman sampai di Kota Sabang. Aahhh ternyata masih banyak orang-orang baik di Negri ini.

Panorama alam selama perjalanan seakan membuat mata saya nyaris tak berkedip, indah sangat. Beberapa pulau kecil turut menghiasi keindahan alam diujung barat Negri ini. Dan saya sempat mendapatkan moment ketika sang mentari beranjak pergi meninggalkan rona jingga diujung barat cakrawala. Sungguh lukisan maha karya Sang Pencipta yang sangat indah.

Tak terasa hari beranjak senja ketika kapal feri yang saya tumpangi perlahan sandar di Pelabuhan Balohan, Pulau Weh. dari sini saya menumpang “bentor”, sepeda motor yang dimodivikasi tambahan gerobak disamping kirinya dan biasanya mangkal disekitar pelabuhan ketika ada kapal datang. Saya memilih ke Pantai Iboih terlebih dahulu karena menurut saran dari salah satu penumpang kapal. perjalanan selama 2 jam kembali mengantarkan saya disalah satu penginapan sederhana di Pantai Iboih. Harga sewa kamar per-malamnya rata2 Rp.150.000-Rp.200.000. tergantung pintarnya kita tawar-menawar dengan pemilik penginapan ini.
Perjalanan panjang seharian membuatku merasa cukup lelah, setelah mandi dan makan disalah satu warung yang berada disamping penginapan, saya segera tidur sembari mengumpulkan tenaga buat petualangan selanjutnya.



Pulau Rubiah didepa mata


Pantai Iboih, Pulau Weh


Pagi yang damai membuatku segera beranjak dari tempat tidur. Bias sang mentari yang masuk dicelah-celah jendela kamar membuyarkan lamunan. Setelah mandi dan mempersiapkan semua peralatan, saya beranjak ke warung kecil yang menjual makanan, sekedar mengisi perut.
Tujuan pertama dihari tersebut adalah Tugu Nol Kilometer Indonesia. Saya kembali menumpang bentor yang sudah kupesan sebelumnya, oiyah disini tak menyediakan kendaraan umum. Jadi kalau kita mau menjelajahi tempat-tempat wisata di Pulau Weh, sebaiknya kita menyewa bentor. Tapi jangan takut soal biaya, para pemilik bentor tidak akan meminta biaya mahal kok, pandai-pandailah kita menawar. Dan itu sudah merupakan harga standart penyewaan bentor disini. Untuk sehari biasanya harga kisaran Rp.200.000-Rp.300.000.

perjalanan dari Pantai Iboih menuju Tugu Nol Kilometer Indonesia ditempuh dalam waktu 20 menit dengan jarak 8 kilometer, melintasi medan yang terus menanjak dan berkelok. Sepanjang perjalanan saya disuguhkan dengan panorama alam yang sangat memukau, melintasi hutan tropis yang masih sangat terjaga keasliannya. Beberapa kali saya dipaksa untuk merunduk dan menghindar dari ranting pohon yang dibiarkan menjuntai ke tengah jalan. Ditengah jalan saya menjumpai sebuah pos penjagaan tapal batas, dari Armada Angkatan Udara, yang berdiri persis dipinggir jalan.


Tugu Kilometer 0 Indonesia


“ 17 OKTOBER 2015”,
Puji Syukur kupanjatkan kepada Yang Maha Kuasa, karena atas Rahmat dan Karunia-NYA saya bisa berada disini. “Tugu Nol Kilometer Indonesia”. Ujung barat Indonesia.
Sebuah tempat yang menjadi salah satu impian dimasa kecilku, sebuah tempat yang selalu menghantui jiwa petualanganku. Dan akhirnya saat ini aku sudah menapakan kakiku disini, merasakan hembusan lembayung disisi terluar Negri ini. Tempat dimana menjadi impian bagi para petualang untuk menggapainya.
Disini jauh dari keramaian. Jauh dari hingar-bingar dan bisingnya dunia. Disini hanya ada ada deburan ombak yang menghempas karang, disini hanya ada suara alam yang menyentuh jiwa. Berada disini saya merasa bahwa betapa indahnya Negri ini, Negri yang saya tinggali, Negri yang saya cintai.


Pulau Weh

Lepas tengah hari saya beranjak dari tempat ini dan kembali ke Pantai Iboih. dan rencananya snorkeling di Pulau Rubiah. Pulau kecil ini berjarak 500 meter dan letaknya persis didepan Pantai Iboih.
dengan menyewa perahu kayu, saya segera menyebrang dan langsung turun di spot snorkeling. Disini sudah ada beberapa penyelam lainnya. Sebelumnya saya beranjak ke warung terdekat untuk menitipkan barang bawaan sembari makan siang, karena perut sudah keroncongan dan minta diisi hehehe. Dari pemilik warung ketika menyelam, saya disarankan membawa mie rebus yang telah diseduh sebagai pengumpan ikan. Dan ternyata benar apa yang dikatakannya, mie rebus tersebut umpan yang cukup manjur buat mendatangkan ikan-ikan yang beraneka warna, dari yang kecil sampai yang sebesar lengan orang dewasa. Di Pulau Rubiah ini terdapat 3 spot buat menyelam yang sempat saya datangi, dengan jenis ikan dan terumbu karang yang berbeda-beda jenis ditiap tempatnya. Jika kita ingin mencoba menyelam di spot-spot tersebut, mintalah kepada pemilik perahu yang kita sewa sebelumnya, tapi kita wajib keluarkan kocek tambahan lagi sebesar Rp.50.000. buat saya sih tidak masalah, semuanya akan terbayar lunas ketika kita sudah melihat panorama alam bawah lautnya.

Trip pertama di Pulau Weh hari itu ditutup dengan kembalinya saya ke penginapan “Siti Rubiah”, yang saya tempati malam sebelumnya.

Malamnya setelah selesai mandi, saya mencoba mencicipi kuliner lokal “Sate Gurita”. Penasaran dengan informasi dari salah seorang sahabat traveler yang terlebih dulu berkunjung kesini. Rasanya sedikit gurih dan pas banget dengan lidah. Walaupun harganya agak mahal menurut saya. 1 porsi Sate Gurita dengan 2 buah lontong dibanderol dengan harga Rp.20.000. tapi itu merupakan salah satu cerita yang akan kita kenang di kemudian hari nanti, bahwa kita sudah mencicipi kuliner-kuliner lokal di setiap tempat yang pernah kija jelajahi.

Masih pagi benar di hari ke-2 di Pulau Weh, saya dikejutkan dengan suara pintu kamar diketuk dari luar. Setelah saya buka pintu, ternyata yang datang “Bang Muchtar”. Abang bentor yang menemani petulanganku di Pulau Weh. sebelumnya saya sudah pesan bahwa pagi itu saya mau keliling Kota Sabang. Setelah packing semua barang bawaan, saya bergegas check out dan menumpang bentor menuju ke Kota Sabang.
Spot pertama Tugu “I Love Sabang”. Untuk menuju ketempat ini kita akan melitasi jalan tanjakan disertai kelok-kelok yang cukup tajam. Untung saja bentor Bang Muchtar kuat tarikannya, salah sedikit bakal merosot kembali kebelakang. Tugu ini berada disuatu tempat yang cukup tinggi, dari sini kita bisa melihat dengan jelas pantai dan laut serta pulau-pulau kecil yang membentang didepan mata.


Tugu "I Love Sabang"

Beranjak dari Tugu ini saya menuju ke ”Monumen Sabang Fair”. Tempat ini berada persis dipinggir pantai, dengan panorama alam yang memukau. Menurut saya, Kota Sabang sangat bersih dan terawat. Selain banyak pepohonan yang menghiasi hampir diseluruh penjuru Kota, saya melihat nyaris tidak adanya sampah yang berserakan disetiap jalanan yang saya lewati. Dan terdapat juga pos-pos dari Armada Angkatan Laut yang berdiri bibir-bibir pantai berpasir putih.

Setelah seharian keliling Kota Sabang, saya kembali menuju ke Pelabuhan Laut Balohan. Rencananya kembali ke Banda Aceh. Petualangan kali ini di Pulau Weh berakhir sudah. 2 hari rasanya belum cukup menjelajahi Pulau ini, tapi kembali waktu tidak mencukupi untuk berada terlalu lama disini.

Selamat Tinggal Pulau Weh
Selamat Tinggal Kota Sabang
Selamat Tinggal Negeri Serambi Mekah
Saya pasti selalu mengingat apa yang saya lewati


* * * * * * * *