Terik sang Mentari siang itu seakan membakar kulit,
ketika langkah kakiku menelusuri trotoar jalan itu sembari menenteng 2 ransel segede
gabang. Beberapa kali saya berpapasan dengan para pejalan kaki lainnya, dan
terlihat senyum merekah menghiasi wajah mereka.
“ mau ke Sabang” ? Tanya seorang Bapak pemilik warung
kecil, ketika aku sempatkan beli rokok diwarungnya.
“iya Pak”, jawabku singkat.
Saya memulai perjalanan dari Jakarta menggunakan armada
udara dengan tujuan Bandar Udara di Kota Banda Aceh. Selanjutnya dari Bandara,
menumpang kendaraan umum tujuan Pelabuhan Laut Ulee Lheue. sebenarnya kendaraan
yang saya tumpangi siap mengantar sampai kedalam area pelabuhan, tapi saya
lebih memilih minta diturunkan di depan pintu masuk Pelabuhan, sembari melihat
keindahan alam di Negri Serambi Mekah. Sedikit gambaran, pantai ini merupakan
salah satu saksi bisu dari ganasnya terjangan gelombang tsunami beberapa tahun
silam. Sejenak saya mampir disini, berdiri disalah satu bibir pantainya yang
sudah disulap menjadi pantai berbatu besar yang menghiasi hampir diseluruh
penjurunya. Disini saya tidak melihat satupun perahu nelayan di lautan, dan
ternyata setelahnya saya baru tau bahwa hari itu adalah hari Jum’at, para
nelayan tidak diperbolehkan melaut dihari tersebut, itu merupakan aturan dari
Adat masyarakat di daerah tersebut. Hmmm salut deh dengan masyarakat Aceh.
Tak lama setelahnya saya segera masuk ke komplek
Pelabuhan dan langsung menuju ke loket penjualan tiket Kapal laut. Ada 2
pilihan penyeberangan dari Aceh menuju Sabang. Kapal Feri dengan lama
perjalanan 4 jam atau dengan kapal cepat dengan 2 jam perjalanan dengan harga
yang bervariasi. Dan saya memilih menggunakan Kapal Feri, selain lebih murah
saya bisa menikmati panorama alam selama perjalanan lebih leluasa. Oiyah, harga
tiket kapal feri dari Pelabuhan Ulee Lheue menuju Pelabuhan Balohan di Pulau
Weh berkisar Rp.25.000. Disini saya berkenalan dengan 4 orang sahabat backpacker
dari Kota Binjai, Sumatra Utara dan mereka juga akan ke Pulau Weh. obrolan kami
terus mengalir ketika kami sudah berada di Kapal Feri, awalnya mereka mengajak
saya berpetualang bersama, tapi saya menolaknya, saya lebih memilih berpetualang
sendiri karena menurut saya lebih terasa sensasi perjalanannya.
suasana diatas kapal feri menuju ke Pulau Weh |
Penumpang di kapal ini cukup banyak, karena hari itu
bertepatan dengan liburan akhir pekan. Namun disinilah menurut saya saat dimana
kita berbaur dan menyatu dengan masyarakat lokal. Mendengar mereka bercerita
dengan menggunakan bahasa daerahnya yang saya tidak mengerti hehehe, dan dengan
budaya yang mereka miliki. Saat dimana jiwa petualangan kita kembali terasah,
saat dimana kita merasa bahwa Negri ini kaya akan budaya, saat dimana jiwa kita
seperti berada ditengah-tengah keluarga besar yang telah lama kita tinggalkan.
Beberapa kali saya ditawari makanan kecil dari penumpang kapal lainnya, bahkan
ada yang menawarkan saya untuk menginap dirumahnya kalau seandainya saya
kemalaman sampai di Kota Sabang. Aahhh ternyata masih banyak orang-orang baik
di Negri ini.
Panorama alam selama perjalanan seakan membuat mata saya
nyaris tak berkedip, indah sangat. Beberapa pulau kecil turut menghiasi
keindahan alam diujung barat Negri ini. Dan saya sempat mendapatkan moment
ketika sang mentari beranjak pergi meninggalkan rona jingga diujung barat
cakrawala. Sungguh lukisan maha karya Sang Pencipta yang sangat indah.
Tak terasa hari beranjak senja ketika kapal feri yang
saya tumpangi perlahan sandar di Pelabuhan Balohan, Pulau Weh. dari sini saya
menumpang “bentor”, sepeda motor yang dimodivikasi tambahan gerobak
disamping kirinya dan biasanya mangkal disekitar pelabuhan ketika ada kapal
datang. Saya memilih ke Pantai Iboih terlebih dahulu karena menurut saran dari
salah satu penumpang kapal. perjalanan selama 2 jam kembali mengantarkan saya
disalah satu penginapan sederhana di Pantai Iboih. Harga sewa kamar per-malamnya
rata2 Rp.150.000-Rp.200.000. tergantung pintarnya kita tawar-menawar dengan
pemilik penginapan ini.
Perjalanan panjang seharian membuatku merasa cukup lelah,
setelah mandi dan makan disalah satu warung yang berada disamping penginapan,
saya segera tidur sembari mengumpulkan tenaga buat petualangan selanjutnya.
Pulau Rubiah didepa mata |
Pantai Iboih, Pulau Weh |
Pagi yang damai membuatku segera beranjak dari tempat
tidur. Bias sang mentari yang masuk dicelah-celah jendela kamar membuyarkan
lamunan. Setelah mandi dan mempersiapkan semua peralatan, saya beranjak ke
warung kecil yang menjual makanan, sekedar mengisi perut.
Tujuan pertama dihari tersebut adalah Tugu Nol Kilometer
Indonesia. Saya kembali menumpang bentor yang sudah kupesan sebelumnya, oiyah
disini tak menyediakan kendaraan umum. Jadi kalau kita mau menjelajahi
tempat-tempat wisata di Pulau Weh, sebaiknya kita menyewa bentor. Tapi jangan
takut soal biaya, para pemilik bentor tidak akan meminta biaya mahal kok,
pandai-pandailah kita menawar. Dan itu sudah merupakan harga standart penyewaan
bentor disini. Untuk sehari biasanya harga kisaran Rp.200.000-Rp.300.000.
perjalanan dari Pantai Iboih menuju Tugu Nol Kilometer
Indonesia ditempuh dalam waktu 20 menit dengan jarak 8 kilometer, melintasi
medan yang terus menanjak dan berkelok. Sepanjang perjalanan saya disuguhkan
dengan panorama alam yang sangat memukau, melintasi hutan tropis yang masih
sangat terjaga keasliannya. Beberapa kali saya dipaksa untuk merunduk dan
menghindar dari ranting pohon yang dibiarkan menjuntai ke tengah jalan. Ditengah
jalan saya menjumpai sebuah pos penjagaan tapal batas, dari Armada Angkatan
Udara, yang berdiri persis dipinggir jalan.
Tugu Kilometer 0 Indonesia |
“ 17 OKTOBER 2015”,
Puji Syukur kupanjatkan kepada Yang Maha Kuasa, karena
atas Rahmat dan Karunia-NYA saya bisa berada disini. “Tugu Nol Kilometer Indonesia”.
Ujung barat Indonesia.
Sebuah tempat yang menjadi salah satu impian dimasa
kecilku, sebuah tempat yang selalu menghantui jiwa petualanganku. Dan akhirnya
saat ini aku sudah menapakan kakiku disini, merasakan hembusan lembayung disisi
terluar Negri ini. Tempat dimana menjadi impian bagi para petualang untuk
menggapainya.
Disini jauh dari keramaian. Jauh dari hingar-bingar dan
bisingnya dunia. Disini hanya ada ada deburan ombak yang menghempas karang, disini
hanya ada suara alam yang menyentuh jiwa. Berada disini saya merasa bahwa
betapa indahnya Negri ini, Negri yang saya tinggali, Negri yang saya cintai.
Pulau Weh |
Lepas tengah hari saya beranjak dari tempat ini dan
kembali ke Pantai Iboih. dan rencananya snorkeling di Pulau Rubiah. Pulau kecil
ini berjarak 500 meter dan letaknya persis didepan Pantai Iboih.
dengan menyewa perahu kayu, saya segera menyebrang dan
langsung turun di spot snorkeling. Disini sudah ada beberapa penyelam lainnya.
Sebelumnya saya beranjak ke warung terdekat untuk menitipkan barang bawaan
sembari makan siang, karena perut sudah keroncongan dan minta diisi hehehe. Dari
pemilik warung ketika menyelam, saya disarankan membawa mie rebus yang telah
diseduh sebagai pengumpan ikan. Dan ternyata benar apa yang dikatakannya, mie
rebus tersebut umpan yang cukup manjur buat mendatangkan ikan-ikan yang
beraneka warna, dari yang kecil sampai yang sebesar lengan orang dewasa. Di
Pulau Rubiah ini terdapat 3 spot buat menyelam yang sempat saya datangi, dengan
jenis ikan dan terumbu karang yang berbeda-beda jenis ditiap tempatnya. Jika
kita ingin mencoba menyelam di spot-spot tersebut, mintalah kepada pemilik
perahu yang kita sewa sebelumnya, tapi kita wajib keluarkan kocek tambahan lagi
sebesar Rp.50.000. buat saya sih tidak masalah, semuanya akan terbayar lunas
ketika kita sudah melihat panorama alam bawah lautnya.
Trip pertama di Pulau Weh hari itu ditutup dengan
kembalinya saya ke penginapan “Siti Rubiah”, yang saya tempati
malam sebelumnya.
Malamnya setelah selesai mandi, saya mencoba mencicipi
kuliner lokal “Sate Gurita”. Penasaran dengan informasi dari salah seorang
sahabat traveler yang terlebih dulu berkunjung kesini. Rasanya sedikit gurih
dan pas banget dengan lidah. Walaupun harganya agak mahal menurut saya. 1 porsi
Sate Gurita dengan 2 buah lontong dibanderol dengan harga Rp.20.000. tapi itu
merupakan salah satu cerita yang akan kita kenang di kemudian hari nanti, bahwa
kita sudah mencicipi kuliner-kuliner lokal di setiap tempat yang pernah kija
jelajahi.
Masih pagi benar di hari ke-2 di Pulau Weh, saya
dikejutkan dengan suara pintu kamar diketuk dari luar. Setelah saya buka pintu,
ternyata yang datang “Bang Muchtar”. Abang bentor yang
menemani petulanganku di Pulau Weh. sebelumnya saya sudah pesan bahwa pagi itu
saya mau keliling Kota Sabang. Setelah packing semua barang bawaan, saya
bergegas check out dan menumpang bentor menuju ke Kota Sabang.
Spot pertama Tugu “I Love Sabang”. Untuk menuju
ketempat ini kita akan melitasi jalan tanjakan disertai kelok-kelok yang cukup
tajam. Untung saja bentor Bang Muchtar kuat tarikannya, salah sedikit bakal
merosot kembali kebelakang. Tugu ini berada disuatu tempat yang cukup tinggi,
dari sini kita bisa melihat dengan jelas pantai dan laut serta pulau-pulau
kecil yang membentang didepan mata.
Tugu "I Love Sabang" |
Beranjak dari Tugu ini saya menuju ke ”Monumen
Sabang Fair”. Tempat ini berada persis dipinggir pantai, dengan
panorama alam yang memukau. Menurut saya, Kota Sabang sangat bersih dan terawat.
Selain banyak pepohonan yang menghiasi hampir diseluruh penjuru Kota, saya
melihat nyaris tidak adanya sampah yang berserakan disetiap jalanan yang saya
lewati. Dan terdapat juga pos-pos dari Armada Angkatan Laut yang berdiri
bibir-bibir pantai berpasir putih.
Setelah seharian keliling Kota Sabang, saya kembali
menuju ke Pelabuhan Laut Balohan. Rencananya kembali ke Banda Aceh. Petualangan
kali ini di Pulau Weh berakhir sudah. 2 hari rasanya belum cukup menjelajahi
Pulau ini, tapi kembali waktu tidak mencukupi untuk berada terlalu lama disini.
Selamat Tinggal Pulau Weh
Selamat Tinggal Kota Sabang
Selamat Tinggal Negeri Serambi Mekah
Saya pasti selalu mengingat apa yang saya lewati
* * * * * * * *